Ani Ema Susanti adalah seorang sineas muda. Melihat gaya sih tidak nampak ia adalah seorang sutradara. Bertubuh mungil mengenakan jilbab, Ia nampak anggun dan pendiam, tapi benar adanya, dari tangannya telah meluncur buku dan film.
Jauh sebelumnya ia tak pernah bermimpi terjun di dunia film. Kondisi ekonomi yang menghimpit tak memberinya peluang untuk memilih. Lulus dari SMA 2 Jombang, Jatim ia tak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Mencari uang untuk membantu keluarga adalah sebuah pilihan satu-satunya.
“Saya pernah menjadi buruh di pabrik roti di Waru (Sidoarjo,red),” akunya dalam perbincangan santai di Mega Mall tempo hari. Di dini ia bertahan kerja tiga minggu saja. Banyak karyawan dirumahkan.
Nasib berbicara lain, ia melihat ada kesempatan untuk menjadi TKW di Hong Kong. Padahal sebelumnya ia tak pernah berpikir untuk menjadi TKW. “Tempat terjauh dalam pikiran saya (dalam mencari kerja, red) ya Batam ini,” lanjut dara yang baru sekali ini menginjakkan kaki di Batam.
Ani berhasil menginjakkan kaki di Batam, bukan sebagai tenaga kerja, tapi sebagai seorang sutradara yang sedang melalkukan tur, perjalanan memutar film dokumenter garapannya yang berjudul Mengusahakan Cinta. Film ini terangkum dalam film dokumenter tetralogi, Pertaruhan yang diproduseri oleh Nia Dinata.
Mengusahakan Cinta bercerita pekerja di Hong Kong, yah boleh dibilang pengalaman yang sangat dekat dengan Ani.
Perjalanan hidup yang sempat berguncang kini dinikmatinya sebagai sebuah keberuntungan. Anak sulung dari dua bersaudara ini mengatakan,”Dulu saya berpikir saya orang paling malang sedunia, kini saya merasa menjadi orang yang paling beruntung sedunia.”
Keberangkatannya ke Hong Kong membuka jalan sukses. Tes menjadi TKW ke Hong Kong dijalaninya dengan perasaan cemas. Penyaringan yang ketat ditambah kondisi fisik yang saat itu dilanda sakit rupanya tak menghambat jalannya menuju Hong Kong.
Ani lolos. Ia mendapat seorang majikan yang baik hati. ”Majikan saya tidak menganggap saya seorang pembantu,” kisahnya.
Tidak itu saja, di sana ia juga mendapat akses untuk belajar. Membaca buku, bahkan akses internet ia dapatkan. ”Saya boleh baca buku-buku di rumah majikan, kalau di Indonesia mana bisa,” paparnya.
Saat ia ditugasi berbelanja ke pasar, ia tak pernah lupa menyempatkan diri ke perpusatakaan. Katanya, di Hong Kong pasar memiliki perpustakaan umum. ”Lantai dasar pasar basah, lantai dua pasar kering, nah lantai tiga public library,” imbuhnya.
Semangat untuk melanjutkan kuliah tetap ia pegang teguh. Dua tahun di Hong Kong ia telah menggenggam uang puluhan juta rupiah. Separo ia berikan kepada orangtua separo ia gunakan untuk biaya kuliah.
Ia tak mau terbuai dengan mudahnya mendapatkan uang di sana. Kala itu sebulan ia mendapatkan gaji Rp 4 juta. ”Mana ada lulusan SMA dapat gaji segitu di sini,” sergahnya.
Ani adalah tipe perempuan Indonesia yang tidak asal menjadi TKW. Ia memilih tidak mau ke Malaysia atau ke Arab. Cerita sedih tentang nasib TKW di dua kawasan itu menjadi pertimbanagn baginya. Menurutnya, pemerintah Hong Kong memiliki kebijakan yang sangat membela buruh migran seperti dirinya. ”Mereka memiliki good will,” tegasnya.
Polisi Hong Kong tak segan menangkap majikan yang melanggar peraturan. ”Kalau ada teman-teman yang lapor, pasti polisi akan segera bertindak,” lanjutnya.
Hanya saja memang penyaringan TKW ke Hong Kong lebih ketat setidaknya calon TKW harus mengerti bahasa Inggris meski sedikit. O, iya hasil kerja di Hong Kong selama dua tahun membuat Ani jadi bisa ngobrol dengan bahasa kanton. ”Cantonese saya lebih bagus dari bahasa Inggris saya,” ujarnya sembari tersenyum.
Apakah Ani menyarakan calon TKW untuk menuju ke Hong Kong saja? Ani tidak menjawab tegas, sebuah senyuman dan anggukan saja yang ia lakukan.
Menurutnya di Hong Kong buruh migran memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri. Banyak komunitas migran yang bisa membuka kesempatan untuk berkembang. Salah satu ”lulusan” Hong Kong yang sukses adalah Eni Kusuma yang kini menjadi kolumnis di situs pembelajar.com.
Kisahnya di Hong Kong pulalah yang mengantarnya ke dunai film. Tahun 2007 ia mengikuti Eagle Awards, sebuah kompetisi film dokumenter. Proposal Ani diterima panitia. Film dokumenter pertama itu ia beri judul Helper Hong Kong Ngampus. Tidak juara memang, tapi dari sanalah ia menjejakkan kaki ke babak baru hidupnya.
Film pertamanya itu bercerita bagaimana seorang TKW mengelola hasil kerjanya. Seringkali ia melihat TKW yang saat pulang terjebak dalam konsumerisme, jadi saat pulang, uang habis lalu kembali ke Luar negeri. Ani punya pilihan lain. Ia kembali kebangku sekolah. Ia mengambil jurusan Psikologi di Untag Surabaya, dan lulus.
Sumber : http://www.harianbatampos.com/
2 comments:
legit sekali kisah ini, mantabb..
kita sebagai makluq ciptaan-NYA sudah sepatutnya meninjau kembali pola fikir kita,agar menyadari bahwa Allah SWT, memberikan haq yang sama pada setiap insan untuk sukses, siapapun kita dari kalangan manapun kita jangan mau terkurung oleh paradigma dunia bahawa kesuksesan hanya hegemoni orang-orang kaya, kaum borjuis. ingat kitapun diberikan Akal, waktu serta kesempatan yang sama untuk menggapai kesuksesan itu.
Post a Comment